Sabtu, 07 Oktober 2017

Presiden Tidak Perlu Dipuji, Tapi Harus Diserang

Sebelum lanjut membaca tulisan ini lebih jauh, mari kita samakan dulu persepsi. Tugas wajib pemimpin negara adalah mensejahterakan rakyatnya dan bangsanya, ingat ini adalah tugas, dan tugas harus dikerjakan dan diselesaikan tepat waktu. Apabila gagal diselesaikan maka pemimpin tersebut terbilang gagal dan harus dievaluasi, tugas masyarakat lah yang mengevaluasi kerja pemimpin tersebut. Apabila tugas tersebut dapat diselesaikan maka kewajibannya sebagai pemimpin telah terpenuhi, dan kewajiban merupakan keharusan, tidak ada reward untuk seseorang yang telah melaksanakan kewajibannya.

Saya tahu tugas menjadi pemimpin sangatlah berat. Dalam agama yang saya anut, dosa besar bagi pemimpin apabila salah satu rakyatnya saja kelaparan, bayangkan bagaimana beratnya memimpin lebih dari 260 juta rakyat yang menurut Badan Pusat Statistik, 10,64% tergolong miskin pada tahun 2017, betapa berat pertanggungjawaban pemimpin kita kelak di akhirat nanti.

Apabila anda tidak setuju dengan dua paragraf di atas, ada baiknya anda tidak lanjut membaca tulisan ini karena perspektif kita sudah berbeda. Akan sulit bagi anda untuk mencerna tulisan saya.

Sebagai rakyat, seharusnya kita terus mengontrol kerja pemimpin-pemimpin kita. Selain mengontrol, kita juga harus menunjang dan melaksanakan program-program kerja yang dicanangkan oleh pemimpin-pemimpin kita. Tidak ada pemimpin yang berhasil tanpa rakyatnya yang aktif mendukung kerja pemimpin tersebut.

Sebaliknya, pemimpin seharusnya mendukung aktifitas kehidupan rakyatnya. Roda ekonomi tidak akan berputar apabila sektor-sektor pendukung ekonomi tersebut tidak menunjang. Pemimpin hanya cukup menunjang sektor-sektor pendukung tersebut. Misalnya, infrastruktur dan pra-sarana, jalan-jalan yang baik akan menunjang distribusi yang baik, pemerintah hanya cukup membuat jalan yang baik dan biarkan rakyatnya menggunakan jalan tersebut untuk kepentingan ekonomis. Infrastruktur yang baik akan menstimulasi rakyat untuk bergerak menciptakan bisnis-bisnis baru dan lapangan-lapangan pekerjaan baru, dengan begitu semua orang dapat memiliki pekerjaan dan ekonomi kerakyatan akan berjalan, negara dapat penghasilan yang cukup dan dapat digunakan untuk membuat sekolah-sekolah dan rumah sakit untuk kembali menunjang aktifitas rakyatnya.

Kebijakan-kebijakan yang dibuat juga harus berpihak pada rakyat. Permudah izin usaha, cabut subsidi tidak masalah asalkan jaminan kesehatan dan pendidikan selalu tersedia. Pajak jangan memberatkan pengusaha kecil, dan uang pajak harus digunakan untuk kebaikan rakyat.

Melihat premis-premis di atas, apakah presiden sekarang dapat dikatakan berhasil dalam melaksanakan kewajibannya?

Dengan masih tingginya angka kemiskinan, presiden belum dapat dikatakan berhasil melakukan tugasnya. Banyaknya orang yang menganggur atau sulit mendapatkan akses pekerjaan menjadi salah satu alasan mengapa masih banyak orang miskin di Indonesia, sebanyak 5,33% dari 131,55 juta angkatan kerja masih menganggur. Presiden juga gagal mempersatukan bangsa, terbukti dengan masih banyaknya konflik horizontal yang terjadi di penjuru negeri, pada periode 2015-2016 saja tercatat 1.568 kejadian yang berbau SARA, ini bukti bahwa rakyat masih belum teredukasi dengan baik dan belum sejahtera baik secara ekonomi maupun batin. 

Infrastruktur pun belum dikatakan memadai bagi rakyat. Masih banyak daerah-daerah yang masih belum bisa diakses, bahkan jalan-jalan yang ada pun masih tergolong buruk. Infrastruktur yang belum memadai akan menyulitkan distribusi logistik, kesulitan dalam pendistribusian tersebut akan berdampak pada tingginya harga-harga barang dan jasa, ditambah dengan sulitnya lapangan pekerjaan, rakyat akan tetap kesulitan dalam membeli dan mengakses kebutuhan-kebutuhan pokok. Memang sulit untuk mengurai masalah tersebut tanpa adanya infrastruktur yang menunjang kehidupan rakyat. Kesenjangan antar daerah juga tidak akan terselesaikan apabila pembangunan infrastruktur hanya terpusat di Indonesia bagian barat saja.

Masalah paling mendasar ada pada instansi-instansi pemerintahan yang masih menggelapkan uang negara. Presiden belum berhasil menyelesaikan masalah korupsi. Uang yang seharusnya digunakan untuk kepentingan rakyat malah masuk ke dalam kantong pribadi. Hal ini membuat rakyat semakin sengsara. 

Presiden tidak patut untuk dipuji. Presiden belum berhasil mensejahterakan rakyatnya. Rakyat tidak boleh terpesona dengan citra Presiden yang down to earth dan sederhana. Rakyat seharusnya terus menyerang presiden dengan kritik-kritik terhadap berbagai kebijakan yang presiden buat. Rakyat harus terus meminta Presiden untuk mengeluarkan kebijakan yang pro terhadap rakyat. Tanpa adanya evaluasi dari rakyatnya, Presiden akan terus dibayangi dengan anggapan bahwa dirinya telah berhasil meskipun kenyataannya belum.

Meski begitu, banyak program-program yang nantinya diharapkan akan mensejahterakan rakyat khususnya dari sektor infrastruktur. Pembuatan jalan tol di Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi diharapkan akan mempermudah distribusi barang dan membuka pekerjaan baru lewat mudahnya akses menuju kota-kota. Program Kartu Indonesia Sehat dapat mempermudah akses kesehatan bagi warga yang kurang mampu. Rakyat harus tetap mengawasi dan mengkritik kebijakan-kebijakan tersebut agar terus pada jalurnya. Rakyat juga harus tetap mendukung kinerja pemerintah untuk mensejahterakan rakyat. Serang pemerintah lewat kritik yang berisi dan membangun.

Keberhasilan pemerintah tidak boleh dipuji, karena itu merupakan kewajiban kepada rakyat. Tetapi kegagalan dari pemerintah harus terus diserang karena kewajiban rakyat lah untuk terus mengawasi kinerja pemerintah. Semoga Presiden dapat terus bekerja demi rakyat dan rakyat dapat sejahtera dan mendapatkan kehidupan yang layak karena pada UUD 1945 tercantum rakyat berhak mendapatkan kehidupan yang layak.


Senin, 21 Agustus 2017

Jalu's Coaching Diary: Walk Out Bukan Solusi

Atlet mana pun yang ingin menjadi terbaik dalam nomor olahraga yang ia mainkan harus memiliki mental yang kuat. Mental yang kuat meliputi attitude terhadap segala keganjilan dalam permainan. Atlet yang baik harus sadar bahwa permainan yang mereka mainkan memiliki unsur manusiawi di dalamnya, dan manusia tidak lepas dari kesalahan baik disengaja mau pun tidak. Wasit, ofisial pertandingan, tim lawan, supporter, sampai ballboy sekali pun merupakan manusia, dan merupakan bagian dari permainan. Atlet yang baik harus menyiapkan diri dari hal-hal yang akan terjadi dalam pertandingan, seburuk apa pun hal-hal tersebut.

Pada kaliber atlet nasional, mental adalah segala-galanya. Mental seorang atlet nasional adalah cerminan tidak langsung dari mental negara yang ia wakilkan, yang ia bawa nama baiknya. Apa yang atlet tersebut lakukan menjadi cerminan rakyat dari negara yang ia wakilkan tersebut. Apabila si atlet mudah menyerah dan mudah terintimidasi, maka secara tidak langsung menunjukkan bahwa rakyat negaranya mudah menyerah dan mudah terintimidasi.

Walkout dari sebuah pertandingan tentunya bukan jawaban dari sebuah tantangan. Sikap merasa dicurangi oleh perangkat pertandingan sebenarnya sah-sah saja, lagipula atlet juga manusia, tetapi menyiasati kecurangan tersebut seharusnya jadi motivasi atlet untuk memenangkan pertandingan. Bukankah lebih keren apabila seorang atlet dicurangi oleh perangkat pertandingan tetapi tetap berjuang untuk kemenangan? Apa lagi sampai bisa memenangkan pertandingan tersebut. Mental semacam inilah yang harusnya ditanamkan kepada atlet-atlet di dunia, khususnya Atlet Nasional Indonesia yang berlaga di ajang dunia. Kalah walkout karena merasa dicurangi bukanlah sesuatu yang terhormat, tidak ada kata terhormat bagi atlet yang menyerah. Apakah sepadan latihan bertahun-tahun hanya untuk walkout karena dicurangi perangkat pertandingan? Menurut saya tentu tidak, apalagi ketika satu tangan telah memegang medali emas yang diidamkan selama bertahun-tahun.

Memang ada rasa yang mengganjal apabila kita dicurangi oleh tim lawan atau perangkat pertandingan. Siapa pun yang menggeluti suatu disiplin olahraga dan pernah merasa dicurangi pasti merasakan. Apabila rasa yang mengganjal tersebut membuat seorang atlet ingin pergi dari pertandingan, maka ia tidak memiliki mental yang kuat, dan atlet yang tidak memiliki mental yang kuat seharusnya tidak pantas menjadi representasi sebuah negara di ajang internasional.

Biarlah lawan atau perangkat pertandingan bersikap curang. Atlet yang baik akan terus berjuang dan berusaha karena ia tahu arti dari sportifitas yang sesungguhnya. Mental keep fighting despite of everything harus ada dalam jiwa atlet mana pun. 

Mungkin inilah cerminan dari negara yang atlet tersebut wakilkan. Rakyatnya memang mudah menyerah, tidak ingin melawan keadaan, dan merasa bahwa kalah tanpa menyelesaikan pertarungan lebih terhormat dibanding kalah setelah bertarung habis-habisan. Atau mungkin ada yang salah dengan jiwa petarung atlet tersebut? Mungkin si pelatih hanya mengajarkan cara untuk menang dan tidak mengajarkan atletnya cara bertarung mati-matian dalam segala kondisi?

Kalah walkout adalah hal yang memalukan, lebih memalukan ketimbang dibantai habis-habisan oleh lawan. Kalah walkout adalah cara yang hina untuk menyelesaikan pertandingan. Memang sikap curang menodai asas sportifitas dalam suatu pertandingan, tetapi menyerah di tengah-tengah pertandingan karena merasa dicurangi menurut saya sudah merusak asas sportifitas.

Tulisan ini ditujukan kepada atlet atau pelatih mana pun yang pernah melakukan aksi walkout dalam segala level pertandingan.

Senin, 17 Juli 2017

Boikot Starbucks? Kenapa Tidak!

Setelah kabar Starbucks menyatakan sikap mendukung hak-hak kaum LGBT sampai di telinga orang-orang Indonesia, Anwar Abbas, pemimpin Muhammadiyah, mengajak kaum muslim Indonesia untuk berhenti jajan di Starbucks. Hashtag #BoikotStarbucks sempat ramai di media sosial dan seperti biasa, selalu menjadi polemik dan perdebatan dari berbagai sudut.

Sebenarnya dukungan Starbucks terhadap hak-hak kaum LGBT sudah lama dipublikasikan, bahkan dari tahun 2013, CEO Starbucks sudah mendukung pernikahan sesama jenis di Amerika Serikat. Hanya saja, seperti biasa, Indonesia selalu ketinggalan dalam tren global. Isu-isu yang sudah 'in' di berbagai negara first world selalu direspon beberapa tahun setelah isu tersebut panas. positifnya, isu yang sudah dingin tersebut menjadi panas kembali dan media-media, bahkan media luar negeri, mendapatkan profit dari isu-isu tersebut.

Saya tidak peduli dengan hak-hak kaum LGBT. Saya menganggap mereka sebagai manusia biasa, dan mereka mempunya hak yang sama dengan saya, dan harus mengikuti peraturan yang sama dengan saya. Apabila antar mereka ingin menikah, silahkan, tetapi peraturan di Undang-Undang Perkawinan No, 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan merupakan ikatan antar wanita dan pria. Jika kawan-kawan penganut paham LGBT ingin menikah, jangan menikah di Indonesia.

Mendukung perkawinan sesama jenis merupakan tren marketing di lima tahun terakhir. Microsoft, Nike, Google, Levi Strauss, Apple, dan Facebook adalah produk-produk yang mendukung hak-hak kaum LGBT. Mengapa mereka mendukung hak-hak kaum LGBT? karena konsumen mereka adalah pemuda-pemuda yang berpikiran progresif dan liberal. Pemuda yang progressive thinking cenderung memiliki pendidikan yang baik, dan diasosiasikan dengan kantong yang tebal juga. Masuk akal apabila mereka menyatakan dukungan terhadap hak-hak kaum LGBT. Pendekatan seperti itu membuat konsumen merasa mereka punya keterikatan secara visi dengan produk-produk tersebut, dengan begitu, konsumen akan memilih produk yang lebih dekat dengan jati diri mereka. PR Campaign semacam ini sudah sering dilakukan bahkan sejak jaman perang dunia. Uang yang dikeluarkan konsumen lagi-lagi masuk ke kantong petinggi-petinggi perusahaan dari produk tersebut. Apalagi produk-produk seperti Apple dan Nike sering memasang harga selangit yang profitnya ratusan persen dari production dan operational cost mereka.

Hal yang sama juga dilakukan Starbucks, apalagi pemuda di Indonesia sedang melek-meleknya terhadap isu-isu LGBT dunia. Indonesia juga memiliki populasi pemuda yang besar. Ekonomi Indonesia di kota-kota besar juga sedang melonjak dari tahun ke tahun. kebebasan dan kemudahan akan informasi juga membuat pemuda-pemuda Indonesia berpikir progresif. Bisa dilihat apabila anda menggunakan LINE, buka timeline anda dan anda akan menemukan banyaknya essay mengenai isu-isu LGBT. Starbucks tahu tentang hal ini. Starbucks dilihat sebagai brand yang progresif dan liberal, pemuda-pemuda Indonesia yang ingin memiliki image progresif akan melihat Starbucks sebagai produk yang keren dan 'gue banget', sama seperti Apple.

Padahal Starbucks merupakan contoh ganasnya kapitalisme di dunia. Dengan membuka berbagai gerai di tempat-tempat strategis di kota-kota besar, Starbucks secara tidak langsung membunuh bisnis-bisnis kopi kecil di Indonesia. Para pemuda otomatis akan menunjuk Starbucks sebagai tempat hangout mereka karena letaknya yang sangat strategis dan gerai mereka yang ada di mana-mana. Soal harga belakangan, yang penting image sebagai pemuda modern nan liberal nomor satu. Beli Frappucino lima puluh ribu, foto, post di snapchat atau instagram story lengkap dengan nama mereka di cup, selesai, anda adalah pemuda keren yang progresif dan liberal.

Ngopi di Starbucks itu keren. Tetapi sebagai pemuda progresif, mereka seharusnya tahu bahwa harga kopi yang dijual di starbucks sangat jauh dari harga yang dipasang para petani-petani kopi Indonesia. Hal yang sama juga dilaporkan di Peru dan Brazil di mana petani-petani kopi mereka menjual biji kopi dengan harga yang murah ke Starbucks, dan dijual kembali dengan harga yang tinggi. Pemuda progresif seharusnya tahu bahwa praktek seperti ini sangat kapitalis, dan musuh pemuda progresif seharusnya adalah kapitalisme.

Terlepas dari apa yang dilakukan Starbucks dengan PR Campaign-nya, kita hanyalah konsumen semata yang membeli apa yang kita mau dan inginkan. Hanya saja, sebagai konsumen harus cerdas dalam mengetahui lebih lanjut misi-misi dari PR Campaign suatu produk yang ingin kita beli.

Selasa, 23 Mei 2017

Jalu's Coaching Diary: Keep Your Parents Out of The Ground

Mungkin saya salah satu orang yang diberkahi kenikmatan luar biasa. Ibu saya mantan pemain nasional, Ayah saya peraih medali emas PON. Saya memang selalu ada di bawah bayang-bayang kedua orang tua saya. Label "Anak Ratih" atau "Anak Budi" sudah biasa saya dengar. Simpelnya, I'm not as good as my parents.

Akan tetapi, saya sangat bersyukur memiliki dua orangtua yang dihormati dan disegani di dunia baseball-softball. Saya tidak perlu berhadapan dengan orangtua yang sok tahu dan sok jago seperti kawan-kawan saya yang lain.

Dulu, Ayah dan Ibu saya selalu mengantar saya ke Pintu Satu, Senayan. Hampir setiap minggu mereka datang mengantar dan menonton saya berlatih. Setiap pertandingan pun salah satu dari mereka selalu datang. Apa yang mereka lakukan? Diam. Ya, Ayah dan Ibu saya tidak seperti orangtua lain yang menganggap memukul bola dari pitcher itu mudah. Tidak seperti orangtua lain yang merasa dirinya lebih tahu dibanding pelatih yang memimpin tim saya. Tidak seperti orangtua lain yang merasa anaknya harus bermain sebagai pitcher atau shortstop. Tidak seperti orangtua lain yang memaksa anaknya harus masuk ke suatu tim.

Saya sangat bersyukur, walaupun saya kadang iri dengan kawan saya yang selalu dibela mati-matian oleh orangtuanya meskipun mereka bermain sangat buruk. Ayah saya selalu diam ketika saya bermain, seakan beliau tidak peduli anaknya strike-out tiga kali berturut-turut, seakan tidak peduli anaknya tidak bisa menangkap bola mudah, seakan tidak peduli anaknya melakukan hal bodoh di dalam lapangan. Itu hanya kulitnya saja. evaluasi tiga SKS setelah pertandingan hampir selalu ada di perjalanan pulang. Saya tidak pernah menangis di lapangan setelah pertandingan buruk, saya selalu menangis di mobil karena tiga SKS dari Ayah saya. Itu yang membedakan Ayah saya dengan ayah-ayah yang lain.

Meskipun Ayah dan Ibu saya adalah pemain yang luar biasa pada zaman mereka, tidak pernah sekalipun mereka mengintervensi kegiatan di dalam lapangan. Gila memang boleh saya bilang. Level mereka jauh di atas pelatih-pelatih saya dulu. Akan tetapi, mereka selalu tahu tempat dan situasi. Mereka tahu bahwa suatu tim tidak boleh diatur-atur kecuali oleh pelatih tim tersebut. Seburuk apapun pilihan dari pelatih saya, orangtua saya tidak pernah ikut campur kecuali ketika diminta.

Sekarang kita lihat sisi lain yang lebih gelap. Jadi awalnya begini, seorang anak SD tertarik bermain baseball setelah membaca komik Dorabase. Si anak ini meminta orangtuanya untuk mengantarnya ke Pintu Satu. Setelah si anak ini bermain, orangtua ini mulai mengerti bagian kulit terluar dari baseball. Dengan modal pengetahuan seadanya dari melihat si anak SD ini berlatih dan bermain, si orangtua ini mulai berkomentar bagaimana seharusnya ini dan itu di lapangan. Memang orang yang ilmunya masih cetek pasti omongnya paling besar. Kasus terekstremnya adalah si orangtua ini sampai ikut mengatur strategi dan pemilihan pemain dalam tim. Gila memang! Pelatih yang sudah belajar bertahun-tahun, melewati proses latihan dan melatih yang berat dan penuh tantangan bisa disetir oleh orang yang bahkan menjelaskan apa itu Strike dan Ball saja harus susah payah.

Kasus seperti ini tidak hanya satu atau dua. BANYAK!! Bukan maksud menggeneralisir, tetapi hampir semua orang tua yang tidak punya background baseball pasti paling vokal dan omongnya paling besar. SHUT UP! YOU PARENTS KNOW NOTHING! Baseball ini bukan persoalan pride orangtua, melainkan passion si anak! Let your kids play the game! Let them enjoy this beautiful game! Tugas anda hanya mengantar mereka ke lapangan dan biarkan pelatih membina anak anda. Anda juga tidak berhak memaksa anak anda bermain sebagai pitcher padahal anak anda lebih berpotensi di first base. Bermain di outfield juga bukan posisi yang hina, dear parents. Tidak semua anak bisa bermain di shortstop! Anak anda tidak secepat lemparan bola catcher, jangan paksa mereka untuk steal. Bunt bukanlah sesuatu yang hina apabila tim anak anda butuh run atau anak anda kesulitan dengan bola pitcher. Lebih baik walk dibanding pop out di centerfield! Anak anda tidak cocok bermain di batter satu atau empat, anak anda lebih cocok di dugout sambil ngemil. Anak anda bukan A-Rod, anak anda lebih condong ke Stephen Drew.

In terms of baseball knowledge, sebenarnya orangtua bisa belajar lewat textbook. Sayangnya, anda tidak berdiri di batter box, anda tidak mengejar bola di outfield, dan paling penting anda tidak berdiri di coach's box dan memberi kode serta mengatur strategi! Anda bukan yang paling tahu jadi tolong jangan sok tahu! Pelatih lebih tahu apa yang dibutuhkan oleh tim. Saya tahu anda orang-orang kaya, tapi ketika di lapangan, pelatih lah yang punya kendali atas pertandingan! 

Satu lagi, belajarlah soal perkembangan baseball di Indonesia. Banyak pemain-pemain hebat di Indonesia yang menertawakan anda. Anda harus tahu juga pencapaian pelatih tim anak anda. Anda juga harus sadar bahwa pelatih-pelatih yang anda teriaki punya pengalaman bermain dan melatih yang jauh dari yang anda punya.

Tulisan ini untuk anda wahai orangtua sok tahu. Untuk orangtua yang berpikir untuk mengirim anak anda bermain baseball, jadilah orangtua yang bertanggung jawab dan cerdas. Jadilah orangtua yang sadar bahwa anak anda ingin bersenang-senang tanpa kendali anda.

Maaf kasar. 


Rabu, 26 April 2017

Jalu's Coaching Diary: The First Of Many

My first tournament went well. we ranked third with three wins and two losses in a tournament full of good teams with more experienced players. To simplify things, we have a quite good tournament.

We had a game where we came back from a 5 - 0 to 5 - 6 game. all six runs came in a last inning thanks to some great strike zone discipline and good control by the guys and some key clutch hits to wrapped up the runs. We shook the tournament by scoring three runs against the best team in the tournament and the eventual champion even though they scored nine. Overall, the new guys looked like they'd had some good futures ahead of them and now it's my job to make them more useful for tournaments to come.

Unlike some baseball countries, baseball in Indonesia is just a way to have some fun on the weekend with your friends. We don't take baseball too seriously. Therefore, we only had like two to three tournaments per year, and only five to eight teams compete in those tournament. That's why we can never achieve what Japan and Korea achieved as they had competitions all year round. Competition gave young players experience they need to go to another level of expertise. Seeing pitches is important for new players as their brain hardware haven't got used to seeing things their eyes can't see. Hitting is projecting the motion of the ball, and our eyes could never do that, it's not designed to do so. By seeing more pitches, the brain can make up memories of ball trajectory so the brain knows when and where to hit them. Hitting is more like seeing the future rather than the present as the ball travel so fast, our eyes couldn't catch them.

The process of going to expert from adept is the hardest thing in every aspect of life including baseball. Teaching kids how to throw and catch is easier than teaching them how to do a double play, teaching them double play is easier than teaching them double play in a desperate condition. Teaching them how to act in some conditions is harder than teaching them techniques. Baseball is 80% mental and 20% Technique. Some Coaches in Indonesia only teach their players how to throw, not how to throw in a two out, last inning, tied, final game. Therefore, lots of error came in a more demanding situations. Teaching players to be calm is also a problem because every person deals with their stress differently. As i said in the previous entry, every person is a different. Now i say every person is different and every person deals with their problems differently.

We could never dismiss the human factor in every players, that goes for the coach as well. Every player is a human and every coach is a human too. Every player deals with their stress differently, so does every coach. By adding the human factor to the training, every players can function themselves as humans, not robots. Coaches have to realise that they are human, and they are dealing with another human being. Baseball is a game for human, and humans made errors when they get stressed. That's why coaches have to teach their players how to deal with stresses in every condition and every play. I see lots of good players made bad judgements in a final game when they did well in games before. That's because usually final games are more mentally demanding than pre-final games. That's why mental training is important for players and coaches.


Ordinary players play with their muscles. Good players play with their hearts. Excellent players play with their brain. Combine all three and you'll have an unstoppable players ready to tackle all kinds of obstacles ahead of them.

Jumat, 21 April 2017

Perempuan Tidak Inferior

Isu yang sedang ramai dibicarakan oleh kaum-kaum menengah adalah isu gender. Meskipun semua setuju kalau gender itu ada dua, yang menjadi fokus di isu ini adalah perempuan. Feminisme menjadi ramai kembali karena adanya media sosial. Indonesia termasuk negara yang sedikit terlambat dalam merespon isu-isu gender, karena isu BBM dan isu perut sebenarnya lebih digemari masyarakat grassroots Indonesia.

Saya memiliki dua pandangan yang berbeda dan bertolak belakang akan masalah perempuan. Saya sadar bahwa perempuan bukanlah objek atau benda yang mudah dipakai, atau jika rusak tinggal beli lagi. Saya sadar bahwa perempuan sering kali menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Saya juga sadar bahwa saya bukan perempuan.

Akan tetapi, yang mengganjal di hati saya adalah bagaimana perempuan-perempuan yang memiliki pendidikan tinggi sering menganggap diri mereka lemah. Gerakan feminisme sekarang menurut saya hanyalah membuat perempuan terlihat inferior. Memang banyak isu yang dikeluarkan oleh gerakan-gerakan feminisme sangat relevan, misalnya kasus kekerasan yang sering menimpa perempuan. Akan tetapi, isu-isu yang dikeluarkan oleh kaum feminis terkadang membuat image perempuan menjadi lemah. Isu wage gap yang sedang ramai dibicarakan misalnya, menurut mereka perempuan mendapatkan gaji yang lebih kecil dibanding laki-laki. Ini hanya gambaran secara gamblang, tetapi bukankah gaji ditetapkan atas dasar etos kerja dan hasil? Lagipula banyak sekali perempuan yang mendapatkan gaji yang lebih besar dan posisi yang lebih strategis dibanding laki-laki.

Isu lain adalah persamaan hak. Anda bisa bersyukur anda hidup di zaman seperti sekarang di mana semua orang bebas dan memiliki hak yang sama, tidak pandang gender. Adanya kesetaraan hak juga memang buah dari perjuangan kaum feminis bertahun-tahun lamanya, dan patut kita apresiasi. Bagaimana cara mengapresiasi perjuangan kaum feminis di masa lalu? dengan cara menikmati hasil yang mereka perjuangan. Mungkin di beberapa negara, perempuan masih dianggap kelas dua, tetapi apabila anda hidup di negara maju atau di Indonesia yang sebenarnya tidak maju-maju amat, perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Kedua gender bisa memilih dalam pemilu, kedua gender dapat memiliki pekerjaan yang sesuai dengan kebutuhan employer mereka, kedua gender dapat hidup sejahtera, kedua gender dapat bepergian ke mana saja. Jadi bagian mana yang anda pikir belum setara? apabila poin pekerjaan mengganggu anda, maka pikirkan berapa banyak perempuan yang mau menjadi buruh konstruksi? atau berapa banyak perempuan yang mau menjadi supir truk antar provinsi? hal yang sama bisa saya kaitkan dengan banyaknya perempuan yang menjadi buruh garment.

Yang kaum feminis garis keras belum mengerti adalah perempuan dan laki-laki memiliki morfologi tubuh yang berbeda dan Tuhan memang sudah mendesain kebutuhan masing-masing gender lewat evolusi beribu-ribu tahun. Maka jarang anda temukan perempuan menjadi buruh konstruksi karena memang alam mendesain laki-laki untuk menjadi buruh konstruksi. Jarang juga anda temukan laki-laki bekerja menjadi buruh garment karena alam mendesain perempuan untuk menjadi buruh garment. apabila kaum feminis garis keras menuntut persamaan yang hakiki, maka niscaya tidak akan ada cabang olahraga yang dipisahkan oleh gender. bisa dibayangkan apabila pada tinju atau gulat perempuan harus menghadapi laki-laki.

Yang harus ada pada otak semua orang adalah keadilan, bukan persamaan. perempuan dan laki-laki memang harus memiliki hak yang sama. Tetapi anda harus ingat juga, laki-laki dan perempuan didesain untuk melakukan hal yang berbeda. Tidak semua aspek kehidupan bisa dipenuhi oleh kedua gender. Terkadang memang satu gender lebih superior dibanding gender yang lain, dan hal itu tidak bisa dielakkan. Yang harus diingat adalah tidak ada gender yang lebih inferior dari gender yang lain. Semua orang memiliki fungsi dan perannya masing-masing di dunia, dan seleksi alam serta evolusi sudah mendesain segalanya. Tinggal bagaimana perempuan dan laki-laki memainkan perannya dalam masyarakat.

Fokus kaum feminis seharusnya bukan pada negara maju atau Indonesia. Lihat sekali-sekali ke negara-negara asia selatan yang menganggap perempuan makhluk kelas dua. Lihat ke negara-negara yang tidak memperbolehkan perempuan keluar dari rumah. Lihat ke negara-negara yang tidak memperbolehkan perempuan untuk ikut dalam pemilu. Lihat ke negara-negara yang masih memperbudak perempuan-perempuannya.

Minggu, 26 Maret 2017

Jalu's Coaching Diary: 101

It's been my second week of coaching, and for me the thought of being coach has long been in my mind but i never thought i'd coach in such young age. nevertheless, i enjoy my early days as a coach. I coach U15 boys team of my club. In Bandung, players usually start at the age of 12, that gave us a disadvantage to another part of the nation in which their players started earlier, sometimes as early as 5 years old! Starting early is crucial to athlete's development. if they learn to play at early age, they will build their mechanics earlier so in the latter age, the coaches doesn't need to teach them the basics and the fundamental.

One thing i learn from this past two weeks, is that no-one has the same capabilities to learn the same lesson. I have a kid that played for a year but couldn't catch a simple grounder, whilst on the other hand i have a kid who only played for two weeks but posses the ability to read a grounder's ballpath. that's when i realise, talent really works on this game and on this stage. the less talented individual have to work harder than those who are talented, and coach have to motivate the less talented kids to work harder.

I learned that everyone posses their own unique built and identity. As we are preparing for a tournament on mid-April, i only teach the new kids some basics and fundamentals to go with them, i haven't got the time i need to explore their respective character and identity to go with their fundamentals. But after the tournament, i'll start looking at their unique identity and start working on theirs. Many coaches built their athletes the way the coaches are built. They fail to realise that they don't posses the same identity as their athletes. This leads to over-training, and could cause the athlete's to lose their potential. every individual has their own potential, and it's the coaches job to find the potential lurking inside their athletes and exploit them.

My coaching philosophy is not to build a whole team. Instead, i'm gonna build the team based on the individuals. For me, baseball is an individual game wrapped in a team sport. If every individual give offers their own unique identity and ability to the team, i think the team itself will profit from the individuals. American baseball was built this way. They tend to train the individuals then blend them into their team, and now they're the best nation in world baseball. I'll try to apply the same method used by American baseball academies into my team so that no players had the same kind of abilities to be offered to the team. That way, they'll grow fulfilling their potential and the will enjoy the success they will have based on their own self.

I'm still learning. everyday is a new sheet of paper. the hardest part is to plant the baseball attitude to them, as they came from different backgrounds. I still have to learn to be patient and to trust the process. every session is an experiment, and the kids are the subject of mine. I just hope my experiment will go as i plan


Jalu Bimasakti.