Jumat, 02 Februari 2018

Praktis Tapi Dibenci: Angkot

Sejak masuk SMP tahun 2008, saya erat dengan mikrolet atau yang sering disebut angkot. Hell man, dulu pernah bela-belain ngangkot dari rumah di Cipondoh ke Plaza BSD demi nyari Converse diskonan di Sport Warehouse. Budaya ngangkot ini bertahan sampai kelas 2 SMA karena Ayah beli motor Mio yang boleh dipakai untuk ke sekolah. Lulus SMA, kuliah di Bandung dan belum punya motor, walhasil ya kembali ngangkot ke mana-mana walaupun tidak pernah ke mana-mana ngangkot karena kalau mau ke mana-mana ada kawan yang bisa ditebengin ke mana-mana. Setelah dua tahun nirkendaraan-pribadi, awal tahun 2016 Ayah kembali memberi motor Mio sebagai pelicin motivasi biar rajin latihan karena waktu itu tidak disangka-sangka bisa diajak latihan Pelatda PON. Cerita saya dan angkot berakhir di situ karena sekarang punya kendaraan pribadi dan secara langsung berkontribusi terhadap kemacetan Kota Bandung, Nuhun Kang Emil.

Momentum saya diberi kendaraan pribadi ternyata secara coincidence bertepatan dengan lahirnya sentimen anti-angkot, atau ya menurutku begitu, yang muncul di masyarakat Kota Bandung, apalagi dengan munculnya ojek online (ojol) yang praktis dan terkesan futuristik (atau orang Indonesia aja yang kuno). Angkot mulai sepi penumpang, dan hal ini pernah diutarakan langsung sama supir angkot sendiri saat saya ngangkot dari rumah ke Terminal Leuwipanjang. Supir angkot yang saya tidak tahu namanya (dan malas nanya) bilang bahwa tendensinya untuk ngetem akan semakin sering karena penumpang mulai sepi, penumpang yang sepi berarti pendapatan menurun, dan menurut logikanya untuk menambah jumlah pendapatannya, ia harus sering ngetem agar penumpang banyak terjaring.

Angkot sebenarnya masih menjadi transportasi umum yang praktis dan masuk akal digunakan di Jabodetabek dan Bandung karena jalan di kota-kota tersebut relatif kecil dibanding di kota metropolitan negara lain. Ukurannya yang relatif kecil dibanding transportasi umum lain membuat mereka bisa bergerak leluasa di jalanan metropolitan. Pengoperasiannya pun tidak sulit karena pada dasarnya, angkot adalah mobil golongan I yang dirombak sedemikian rupa menjadi transportasi umum. Angkot juga tidak membutuhkan platform khusus untuk menaik-turunkan penumpang karena pada dasarnya mereka adalah mobil pada umumnya. Dibanding dengan kereta yang membutuhkan stasiun atau bus transjakarta yang membutuhkan shelter khusus.

Lantas mengapa angkot begitu dibenci dan ketiadaannya diamini oleh pengguna jalan lainnya? Faktanya, waktu tempuh dari Kiaracondong ke Jatinangor lebih cepat ketika para supir angkot mogok kerja dibanding ketika angkot-angkot beroperasi. Untuk mengetahui hal itu, coba tengok Kota Bogor yang memiliki populasi angkot lebih banyak dibanding manusianya. Jumlah Angkot di Jabodetabek sendiri menurut Katadata pada tahun 2015 mencapai 24 ribu unit dan diharapkan berkurang. Angkot sudah terlalu banyak dan membanjiri kota tanpa adanya peraturan yang tegas akan pembatasan jumlahnya. Pemerintah hanya bisa mengontrol status angkot-angkot tersebut lewat Dinas Perhubungan yang memperbolehkan atau tidaknya sebuah angkot beroperasi. Angkot sendiri dimiliki oleh pengusaha-pengusaha swasta atau pribadi dan sama sekali bukan milik pemerintah. Dengan begitu, saya dan masyarakat umum pun apabila memiliki izin usaha dan uang yang cukup bisa menjalankan usaha trayek angkot sesuai ketentuan Dishub tanpa adanya peraturan tentang jumlah unit yang jelas. Mungkin ini yang disebut Free Market. Hal tersebut membuat jumlah angkot begitu banyak dan tidak terkontrol.

Selain tidak bisa dikontrol jumlahnya, hal yang paling sering dikeluhkan oleh pengguna jalan lain termasuk saya adalah cara mengemudi para oknum supir angkot yang tidak beretika. Kadang membahayakan pengguna jalan lain, penumpang, dan dirinya sendiri. Tendensi untuk ugal-ugalan ini juga berakar dari perebutan penumpang antar angkot. Dengan mendahului angkot lainnya, mereka dapat merebut calon penumpang, tentu dengan berbagai resiko yang ditanggung oleh sang supir. Selain itu, angkot sendiri memiliki tendensi untuk menunggu penumpang dalam jangka waktu yang lama, sangat lama, dan kadang menutupi ruas jalan. Bisa dilihat di depan TangCity Mall di mana angkot memakan hampir setengah ruas Jalan Jenderal Sudirman dan mengakibatkan kemacetan yang sebenarnya bisa ditangani dengan mudah.

Supir angkot sendiri diharuskan memiliki SIM A Umum, Kartu Tanda Anggota, Kartu Pengawasan, serta seragam yang jelas. Pada kenyataannya, banyak supir angkot yang tidak memiliki salah satu bahkan semua kelengkapan tersebut. Dari pengalaman pribadi saya sendiri, beberapa supir angkot bahkan belum berumur 17 tahun apalagi memiliki SIM. Banyak juga terdapat supir yang tidak terdaftar di manapun, bisa disebut supir tembak. Supir tembak sendiri menggunakan angkot milik orang lain meskipun dirinya tidak terdaftar dalam angkot tersebut, mungkin mereka menggantikan kawannya yang berhalangan untuk bekerja, mari berpikir positif. Akan tetapi, dengan adanya supir yang tidak memiliki izin dan segala macamnya, akan lebih sulit untuk dikontrol apabila terjadi tindak kriminalitas dan pelanggaran lain. 

Bicara soal kriminalitas, meskipun tidak ada data yang up-to-date tetapi pada akhir 2012 sendiri dilansir dari Republika.co.id, terdapat 24 kejadian yang melibatkan angkot di Jakarta dan berita mengenai tindak kriminal di angkot dapat ditemui sehari-hari di koran-koran lokal kota. Selain kriminalitas, angkot juga relatif tidak nyaman dibanding transportasi umu lainnya. Supir kadang memaksakan kehendak dengan menempatkan penumpang layaknya barang, berdesak-desakan dan bersempit-sempitan seperti ikan asin dalam peti. Kadang, satu unit angkot dapat menampung 15 penumpang, bisa juga lebih! Belum lagi unit yang sudah tidak layak tetapi masih dipertahankan untuk beroperasi. Saya pernah naik angkot yang hampir tidak memiliki suspensi yang layak, yang jelas dengan jalan di Indonesia yang banyak bergelombang, penumpang tidak merasakan pengalaman yang baik dalam angkot tersebut.

Meskipun banyak hal negatif yang dimiliki angkot, mereka tetap menjadi transportasi paling efektif di jalanan kota. Untuk berbagai kalangan juga angkot tetap menjadi andalan untuk berpergian dari titik A ke titik B. Angkot juga murah meskipun harga ongkos yang ditetapkan oleh sang supir selalu menjadi tanda tanya besar penumpang. Kemampuan analisa supir angkot dalam menentukan tarif patut diacungi jempol dan tidak bisa ditandingi siapapun. Angkot juga menjangkau hampir setiap sudut kota karena kepraktisannya, hal yang belum bisa ditandingi oleh transportasi umum lain seperti bis kota apalagi kereta. Angkot tetap dibutuhkan, meskipun dibenci. Beberapa bulan lalu saja ketika supir angkot mogok kerja, pemerintah harus mengeluarkan usaha lebih untuk menggantikan peran angkot, bukti bahwa angkot tetap memiliki permintaan meskipun semakin mengecil.

Menurut saya, angkot merupakan moda transportasi yang ketinggalan zaman. Ketika bangsa lain sudah memiliki moda transportasi yang lebih maju dan lebih aman, kita terlena dengan adanya angkot. Kita tidak akan menemukan semacam Angkot di Singapura apalagi di New York. Pemerintah harus segera mencari solusi permasalahan ini. Ketidaknyamanan angkot sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman. Tanpa adanya transportasi umum yang nyaman dan sepraktis angkot, masyarakat (dan saya) akan tetap menggunakan kendaraan pribadi yang menyumbang polusi dan kemacetan secara langsung.

Solusi yang paling praktis sebenarnya adalah akuisisi angkot oleh pemerintah. Jadikan angkot sebagai transportasi umum milik pemerintah, dengan begitu jumlah dan kualitasnya bisa dikontrol. Tinggal bagaimana pemerintah bisa bernegosiasi dengan pengusaha-pengusaha angkot. Solusi yang lebih radikal adalah dengan cara mengganti angkot dengan moda transportasi yang lebih layak dan modern. Yang perlu dipikirkan adalah bagaimana cara memperbaiki moda transportasi umum yang ada tanpa mengorbankan supir-supir angkot yang kebanyakan tidak memiliki skill lain karena pada dasarnya merekapun butuh pendapatan yang layak dan kehidupan yang sejahtera.