Rabu, 26 April 2017

Jalu's Coaching Diary: The First Of Many

My first tournament went well. we ranked third with three wins and two losses in a tournament full of good teams with more experienced players. To simplify things, we have a quite good tournament.

We had a game where we came back from a 5 - 0 to 5 - 6 game. all six runs came in a last inning thanks to some great strike zone discipline and good control by the guys and some key clutch hits to wrapped up the runs. We shook the tournament by scoring three runs against the best team in the tournament and the eventual champion even though they scored nine. Overall, the new guys looked like they'd had some good futures ahead of them and now it's my job to make them more useful for tournaments to come.

Unlike some baseball countries, baseball in Indonesia is just a way to have some fun on the weekend with your friends. We don't take baseball too seriously. Therefore, we only had like two to three tournaments per year, and only five to eight teams compete in those tournament. That's why we can never achieve what Japan and Korea achieved as they had competitions all year round. Competition gave young players experience they need to go to another level of expertise. Seeing pitches is important for new players as their brain hardware haven't got used to seeing things their eyes can't see. Hitting is projecting the motion of the ball, and our eyes could never do that, it's not designed to do so. By seeing more pitches, the brain can make up memories of ball trajectory so the brain knows when and where to hit them. Hitting is more like seeing the future rather than the present as the ball travel so fast, our eyes couldn't catch them.

The process of going to expert from adept is the hardest thing in every aspect of life including baseball. Teaching kids how to throw and catch is easier than teaching them how to do a double play, teaching them double play is easier than teaching them double play in a desperate condition. Teaching them how to act in some conditions is harder than teaching them techniques. Baseball is 80% mental and 20% Technique. Some Coaches in Indonesia only teach their players how to throw, not how to throw in a two out, last inning, tied, final game. Therefore, lots of error came in a more demanding situations. Teaching players to be calm is also a problem because every person deals with their stress differently. As i said in the previous entry, every person is a different. Now i say every person is different and every person deals with their problems differently.

We could never dismiss the human factor in every players, that goes for the coach as well. Every player is a human and every coach is a human too. Every player deals with their stress differently, so does every coach. By adding the human factor to the training, every players can function themselves as humans, not robots. Coaches have to realise that they are human, and they are dealing with another human being. Baseball is a game for human, and humans made errors when they get stressed. That's why coaches have to teach their players how to deal with stresses in every condition and every play. I see lots of good players made bad judgements in a final game when they did well in games before. That's because usually final games are more mentally demanding than pre-final games. That's why mental training is important for players and coaches.


Ordinary players play with their muscles. Good players play with their hearts. Excellent players play with their brain. Combine all three and you'll have an unstoppable players ready to tackle all kinds of obstacles ahead of them.

Jumat, 21 April 2017

Perempuan Tidak Inferior

Isu yang sedang ramai dibicarakan oleh kaum-kaum menengah adalah isu gender. Meskipun semua setuju kalau gender itu ada dua, yang menjadi fokus di isu ini adalah perempuan. Feminisme menjadi ramai kembali karena adanya media sosial. Indonesia termasuk negara yang sedikit terlambat dalam merespon isu-isu gender, karena isu BBM dan isu perut sebenarnya lebih digemari masyarakat grassroots Indonesia.

Saya memiliki dua pandangan yang berbeda dan bertolak belakang akan masalah perempuan. Saya sadar bahwa perempuan bukanlah objek atau benda yang mudah dipakai, atau jika rusak tinggal beli lagi. Saya sadar bahwa perempuan sering kali menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Saya juga sadar bahwa saya bukan perempuan.

Akan tetapi, yang mengganjal di hati saya adalah bagaimana perempuan-perempuan yang memiliki pendidikan tinggi sering menganggap diri mereka lemah. Gerakan feminisme sekarang menurut saya hanyalah membuat perempuan terlihat inferior. Memang banyak isu yang dikeluarkan oleh gerakan-gerakan feminisme sangat relevan, misalnya kasus kekerasan yang sering menimpa perempuan. Akan tetapi, isu-isu yang dikeluarkan oleh kaum feminis terkadang membuat image perempuan menjadi lemah. Isu wage gap yang sedang ramai dibicarakan misalnya, menurut mereka perempuan mendapatkan gaji yang lebih kecil dibanding laki-laki. Ini hanya gambaran secara gamblang, tetapi bukankah gaji ditetapkan atas dasar etos kerja dan hasil? Lagipula banyak sekali perempuan yang mendapatkan gaji yang lebih besar dan posisi yang lebih strategis dibanding laki-laki.

Isu lain adalah persamaan hak. Anda bisa bersyukur anda hidup di zaman seperti sekarang di mana semua orang bebas dan memiliki hak yang sama, tidak pandang gender. Adanya kesetaraan hak juga memang buah dari perjuangan kaum feminis bertahun-tahun lamanya, dan patut kita apresiasi. Bagaimana cara mengapresiasi perjuangan kaum feminis di masa lalu? dengan cara menikmati hasil yang mereka perjuangan. Mungkin di beberapa negara, perempuan masih dianggap kelas dua, tetapi apabila anda hidup di negara maju atau di Indonesia yang sebenarnya tidak maju-maju amat, perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Kedua gender bisa memilih dalam pemilu, kedua gender dapat memiliki pekerjaan yang sesuai dengan kebutuhan employer mereka, kedua gender dapat hidup sejahtera, kedua gender dapat bepergian ke mana saja. Jadi bagian mana yang anda pikir belum setara? apabila poin pekerjaan mengganggu anda, maka pikirkan berapa banyak perempuan yang mau menjadi buruh konstruksi? atau berapa banyak perempuan yang mau menjadi supir truk antar provinsi? hal yang sama bisa saya kaitkan dengan banyaknya perempuan yang menjadi buruh garment.

Yang kaum feminis garis keras belum mengerti adalah perempuan dan laki-laki memiliki morfologi tubuh yang berbeda dan Tuhan memang sudah mendesain kebutuhan masing-masing gender lewat evolusi beribu-ribu tahun. Maka jarang anda temukan perempuan menjadi buruh konstruksi karena memang alam mendesain laki-laki untuk menjadi buruh konstruksi. Jarang juga anda temukan laki-laki bekerja menjadi buruh garment karena alam mendesain perempuan untuk menjadi buruh garment. apabila kaum feminis garis keras menuntut persamaan yang hakiki, maka niscaya tidak akan ada cabang olahraga yang dipisahkan oleh gender. bisa dibayangkan apabila pada tinju atau gulat perempuan harus menghadapi laki-laki.

Yang harus ada pada otak semua orang adalah keadilan, bukan persamaan. perempuan dan laki-laki memang harus memiliki hak yang sama. Tetapi anda harus ingat juga, laki-laki dan perempuan didesain untuk melakukan hal yang berbeda. Tidak semua aspek kehidupan bisa dipenuhi oleh kedua gender. Terkadang memang satu gender lebih superior dibanding gender yang lain, dan hal itu tidak bisa dielakkan. Yang harus diingat adalah tidak ada gender yang lebih inferior dari gender yang lain. Semua orang memiliki fungsi dan perannya masing-masing di dunia, dan seleksi alam serta evolusi sudah mendesain segalanya. Tinggal bagaimana perempuan dan laki-laki memainkan perannya dalam masyarakat.

Fokus kaum feminis seharusnya bukan pada negara maju atau Indonesia. Lihat sekali-sekali ke negara-negara asia selatan yang menganggap perempuan makhluk kelas dua. Lihat ke negara-negara yang tidak memperbolehkan perempuan keluar dari rumah. Lihat ke negara-negara yang tidak memperbolehkan perempuan untuk ikut dalam pemilu. Lihat ke negara-negara yang masih memperbudak perempuan-perempuannya.