Senin, 17 Juli 2017

Boikot Starbucks? Kenapa Tidak!

Setelah kabar Starbucks menyatakan sikap mendukung hak-hak kaum LGBT sampai di telinga orang-orang Indonesia, Anwar Abbas, pemimpin Muhammadiyah, mengajak kaum muslim Indonesia untuk berhenti jajan di Starbucks. Hashtag #BoikotStarbucks sempat ramai di media sosial dan seperti biasa, selalu menjadi polemik dan perdebatan dari berbagai sudut.

Sebenarnya dukungan Starbucks terhadap hak-hak kaum LGBT sudah lama dipublikasikan, bahkan dari tahun 2013, CEO Starbucks sudah mendukung pernikahan sesama jenis di Amerika Serikat. Hanya saja, seperti biasa, Indonesia selalu ketinggalan dalam tren global. Isu-isu yang sudah 'in' di berbagai negara first world selalu direspon beberapa tahun setelah isu tersebut panas. positifnya, isu yang sudah dingin tersebut menjadi panas kembali dan media-media, bahkan media luar negeri, mendapatkan profit dari isu-isu tersebut.

Saya tidak peduli dengan hak-hak kaum LGBT. Saya menganggap mereka sebagai manusia biasa, dan mereka mempunya hak yang sama dengan saya, dan harus mengikuti peraturan yang sama dengan saya. Apabila antar mereka ingin menikah, silahkan, tetapi peraturan di Undang-Undang Perkawinan No, 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan merupakan ikatan antar wanita dan pria. Jika kawan-kawan penganut paham LGBT ingin menikah, jangan menikah di Indonesia.

Mendukung perkawinan sesama jenis merupakan tren marketing di lima tahun terakhir. Microsoft, Nike, Google, Levi Strauss, Apple, dan Facebook adalah produk-produk yang mendukung hak-hak kaum LGBT. Mengapa mereka mendukung hak-hak kaum LGBT? karena konsumen mereka adalah pemuda-pemuda yang berpikiran progresif dan liberal. Pemuda yang progressive thinking cenderung memiliki pendidikan yang baik, dan diasosiasikan dengan kantong yang tebal juga. Masuk akal apabila mereka menyatakan dukungan terhadap hak-hak kaum LGBT. Pendekatan seperti itu membuat konsumen merasa mereka punya keterikatan secara visi dengan produk-produk tersebut, dengan begitu, konsumen akan memilih produk yang lebih dekat dengan jati diri mereka. PR Campaign semacam ini sudah sering dilakukan bahkan sejak jaman perang dunia. Uang yang dikeluarkan konsumen lagi-lagi masuk ke kantong petinggi-petinggi perusahaan dari produk tersebut. Apalagi produk-produk seperti Apple dan Nike sering memasang harga selangit yang profitnya ratusan persen dari production dan operational cost mereka.

Hal yang sama juga dilakukan Starbucks, apalagi pemuda di Indonesia sedang melek-meleknya terhadap isu-isu LGBT dunia. Indonesia juga memiliki populasi pemuda yang besar. Ekonomi Indonesia di kota-kota besar juga sedang melonjak dari tahun ke tahun. kebebasan dan kemudahan akan informasi juga membuat pemuda-pemuda Indonesia berpikir progresif. Bisa dilihat apabila anda menggunakan LINE, buka timeline anda dan anda akan menemukan banyaknya essay mengenai isu-isu LGBT. Starbucks tahu tentang hal ini. Starbucks dilihat sebagai brand yang progresif dan liberal, pemuda-pemuda Indonesia yang ingin memiliki image progresif akan melihat Starbucks sebagai produk yang keren dan 'gue banget', sama seperti Apple.

Padahal Starbucks merupakan contoh ganasnya kapitalisme di dunia. Dengan membuka berbagai gerai di tempat-tempat strategis di kota-kota besar, Starbucks secara tidak langsung membunuh bisnis-bisnis kopi kecil di Indonesia. Para pemuda otomatis akan menunjuk Starbucks sebagai tempat hangout mereka karena letaknya yang sangat strategis dan gerai mereka yang ada di mana-mana. Soal harga belakangan, yang penting image sebagai pemuda modern nan liberal nomor satu. Beli Frappucino lima puluh ribu, foto, post di snapchat atau instagram story lengkap dengan nama mereka di cup, selesai, anda adalah pemuda keren yang progresif dan liberal.

Ngopi di Starbucks itu keren. Tetapi sebagai pemuda progresif, mereka seharusnya tahu bahwa harga kopi yang dijual di starbucks sangat jauh dari harga yang dipasang para petani-petani kopi Indonesia. Hal yang sama juga dilaporkan di Peru dan Brazil di mana petani-petani kopi mereka menjual biji kopi dengan harga yang murah ke Starbucks, dan dijual kembali dengan harga yang tinggi. Pemuda progresif seharusnya tahu bahwa praktek seperti ini sangat kapitalis, dan musuh pemuda progresif seharusnya adalah kapitalisme.

Terlepas dari apa yang dilakukan Starbucks dengan PR Campaign-nya, kita hanyalah konsumen semata yang membeli apa yang kita mau dan inginkan. Hanya saja, sebagai konsumen harus cerdas dalam mengetahui lebih lanjut misi-misi dari PR Campaign suatu produk yang ingin kita beli.