2018 lalu saya dapat kesempatan untuk pegang Tim Baseball U15 Jawa Barat. Pengalaman tersebut membawa saya menuju titik di mana saya merasa tidak tahu apa-apa soal baseball, and that's actually the fun part! learning things that i actually passionate about is fun!
Melatih anak umur di bawah 15 tahun itu sulit. Pertama, mereka masih dalam tahap perkembangan secara mekanik, teknik, maupun mindset (tiga aspek), hal ini yang membuat saya harus beradaptasi dan membawa diri ke pengalaman saya saat bermain di umur mereka dan mengerti apa kebutuhan dan karakter mereka. Dibutuhkan kesabaran super ekstra dalam memberi instruksi serta memperbaiki tiga aspek mereka, alasan utama adalah perbedaan pengalaman mereka dengan saya. Terkadang apa yang saya anggap pengetahuan dasar bagi mereka adalah hal yang baru, jelas saja karena saya bermain lebih lama dibanding mereka, dan itu buat saya merupakan hambatan yang cukup berat untuk dilalui. Beruntung sudah banyak referensi yang bisa mereka tonton dan tiru, bersukur juga saya melatih di era di mana informasi didapat cukup modal koneksi internet dan gadget.
Kesulitan yang kedua adalah hambatan yang sepele, namun fatal apabila ditinggalkan. Perbedaan generasi yang cukup jauh dan minimnya turnamen baseball di umur open membuat mereka tidak mengenal saya dan cara saya bermain. Terlihat sepele karena logikanya saya adalah sosok guru dan mereka otomatis mendengarkan apa yang saya katakan. realita di lapangan berbicara lain. Semua anak di tim tahu siapa Digul, head coach kami. Digul merupakan mantan pemain nasional yang juga membawa Jawa Barat U18 juara pada 2016. Ass. Coach lainnya Ayub seharusnya mudah diterima oleh anak-anak karena kedekatannya dengan anggota tim. Ayub sudah berpengalaman memegang tim U15 dan U12 di level klub dan banyak membawa prestasi baik. Saya? Saat perkenalan saya hanya bisa bilang saya pernah membela tim daerah di level U18 sebanyak tiga kali dan saya dicoret dari tim senior Jawa Barat. Dengan sangat bangga saya mengatakan ikuti apa kata saya agar kalian tidak gagal seperti saya. Pada prakteknya, malah saya lebih diterima ketimbang Ayub. Mungkin karena saya jujur saya bukan siapa-siapa, saya orang baru untuk kalian, dan saya melakukan pendekatan lebih personal ketimbang Ayub.
Akan tetapi, kesulitan yang paling besar adalah mengenal anak-anak di tim. Sama seperti sulitnya mereka mengenal saya, saya pun pada titik itu baru berkecimpung di dunia kepelatihan selama satu tahun. Saya buta akan skena pembinaan usia dini di Jawa Barat, dan sekarang saya dihadapkan dengan challenge yang berat untuk mengolah apa yang masing-masing mereka punya menjadi satu tim yang solid. Mungkin 7 atau 8 orang saya tahu betul kemampuan mereka tapi memilih 18 orang? sangat sulit untuk saya lakukan dalam waktu singkat. Dari situlah saya memilih jalur yang paling objektif dan paling mudah dilakukan.
Data. Buat saya angka itu objektif dan hasil itu pasti, tinggal interpretasi dari seorang pelatih dan konteks yang membuat angka-angka tersebut bermakna. Dengan melihat data angka, dan visual, seorang anak yang terlihat jago akan terbuka kelemahannya. Banyak pelatih yang hanya mengandalkan visualnya merasa seorang anak hanya perlu diasah apabila terlihat skillnya cukup baik, padahal pada umur-umur usia dini, tidak ada anak yang tidak memiliki cacat mekanik. Terlepas dari metode yang digunakan pelatih dalam melatih, data sebenarnya dapat memprediksi jalan karir si anak. Ambil contoh alm. Khaidir Budiman yang sebelum saya analisis menggunakan data visual tidak pernah saya buat sebagai pemain ofensif. Khaidir yang dulu saya kenal memiliki range yang baik dan transfer glove ke tangan yang cepat, tidak pernah saya pikir Khaidir akan menjadi pemukul yang punya power besar dan contact yang baik karena selama proses latihan saya tidak pernah melihat Khaidir mendominasi latihan batting. Khaidir was a defensive infielder, and it should never be that way, he was in fact a five tool boy with tons of unlocked potential yang hanya bisa saya lihat menggunakan data angka dan visual.
Suatu hari Digul membawa mainan baru ke lapangan, sebuah sensor bat yang dapat memperlihatkan swing speed, sudut elevasi, kecepatan kontak bat dengan bola, dan data visual swing path. Setelah dilakukan tes terhadap semua atlet, hasilnya membuka mata saya, apa yang saya lihat selama ini salah. Beberapa pemain yang memiliki sukses di batter's box ternyata memiliki skor yang rendah, dan saya hanya mengasah apa yang mereka punya tanpa mengubah mekanik mereka yang salah. Hasil tes dari Khaidir buat saya mengejutkan, Khaidir memiliki bat speed tertinggi dan swing path terbaik di antara anak-anak lain. That changed my treatment and approach, now i know that he's a threat in the box, hanya perlu beberapa perubahan and he'll explode. Khaidir di penghujung karirnya merupakan infielder yang sulit ditembus, a nuisance on the basepath, dan paling penting a power hitter yang punya kemampuan memukul keluar pagar. Sayangnya Tuhan punya rencana lain, Khaidir adalah laboratorium berjalan saya.
That being said, apa yang kita lihat tidak merepresentasikan realita seutuhnya. Angka-angka sederhana dapat mengubah cara pandang kita terhadap atlet dan yang pastinya mengubah metode latihan. Mesin tidak pernah bohong, angka tidak pernah salah, apabila bohong dan salah berarti rusak dan harus diganti. Pandangan objektif yang harus didorong dalam menganalisa anak. Tidak semua pelatih memiliki referensi yang baik dan benar, maka objektifitas dari indera pelatih harusnya menjadi tanda tanya karena tidak ada yang objektif dari pandangan seseorang.
Data tidak dapat berdiri sendiri. Interpretasi dari pelatih dan konteks berperan lebih besar dari data itu sendiri. Angka hanya sebuah instrumen, manusia lah yang tetap beraksi. Sayangnya memaknai data sendiri dibutuhkan wawasan dari pelatih itu sendiri. Data tidak akan efektif apabila dipegang oleh pelatih yang bodoh. Sebaik dan selengkap apapun data yang tersaji apabila tidak dapat digunakan sebagaimana fungsinya maka data tersebut tetap tidak relevan. Interpretasi data dapat mengubah masa depan atlet, baik menjadi lebih cerah maupun lebih suram. Gadget canggih tidak dapat membantu anda apabila data tidak dapat dimaknai secara baik. Itulah mengapa menurut saya sebelum pelatih memegang alat ukur, lebih baik pelatih belajar memahami arti dari apa yang alat tersebut akan sajikan. Pelatih harus sadar bahwa memasang sensor di bat tidak akan mengubah kemampuan anak apabila data dari sensor tidak diaplikasikan dengan baik ke program dan metode latihan. Banyak pelatih dan orangtua atlet jor-joran membeli alat tercanggih yang mereka bisa dapatkan tapi mereka lupa bahwa alat tersebut apabila tidak ditunjang dengan sumber daya manusia yang baik tidak akan membuat anak maju.
Similarly, pelatih harus menerima kenyataan bahwa mata dan telinga mereka subjektif. Pelatih harus sadar bahwa indera mereka terbatas, banyak hal yang tidak bisa ditangkap indera manusia tapi bisa diperlihatkan oleh mesin. Maka, pelatih dilarang menyombongkan diri di hadapan data, karena data merupakan instrumen paling objektif dalam menganalisa kemampuan atlet.
That brought us back to my story. Kesulitan pertama dapat diatasi dengan mudah hanya dengan melihat data. Berbagai tes yang kami lakukan membantu saya mengenal karakter anak dan membantu saya membuat program yang cocok dengan metode terbaik, hanya dengan membaca data. Kesulitan kedua juga dapat teratasi karena anak-anak mengenal saya sebagai pelatih yang objektif dan mengkritik dengan dasar yang jelas, yaitu data yang diambil setiap tes dan latihan. Untuk mengenal kemampuan anak tinggal lihat dan interpretasi data dari si anak.
Saya bersyukur dapat dipercaya menjadi pengepul angka di Tim Baseball U15 Jawa Barat. Interpretasi akan data membuat saya dapat memberi masukan untuk program dan metode ke head coach. Saya tidak akan lupa proses latihan selama pelatda berlangsung, dan saya tidak akan lupa pelajaran yang saya dapatkan selama proses tersebut berlangsung.